Oleh : dr. M. Saifudin Hakim
(Staf Pengajar Mikrobiologi, FK UGM,
Yogyakarta)
Diabetes
Mellitus (DM) merupakan penyakit/gangguan metabolisme yang ditandai dengan
tingginya kadar gula (glukosa) dalam darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh
kurangnya produksi atau gangguan kerja (penurunan efektifitas) hormon insulin
atau karena kedua-duanya. Penyakit DM dibagi dalam 2 jenis. Pertama, DM tipe 1 atau yang disebabkan oleh
rusaknya sel β (beta) pankreas sebagai “pabrik” pembuat insulin. Kedua, DM tipe 2, tipe ini merupakan gangguan
yang sifatnya heterogen, pada beberapa kasus akibat gangguan fungsi sel β,
namun paling banyak disebabkan oleh gangguan kerja (resistensi) insulin pada
sel-sel dalam jaringan tubuh.
Keberadaan
penyakit diabetes tidak lepas dari peran zat besi (Fe) dalam darah. Sifat
molekul besi yang tidak stabil berpotensi menghasilkan berbagai bentuk radikal
bebas yang membahayakan atau merusak sel-sel tubuh. Hasil pengamatan terhadap
peningkatan frekuensi penyakit diabetes pada orang-orang yang menderita hemochromatosis menunjukkan bahwa kelebihan (overload) besi dalam tubuh
berperan dalam mencetuskan penyakit diabetes. Hemochromatosis adalah suatu kelainan genetik yang mengakibatkan
kelebihan besi dalam tubuh. Akan tetapi, apapun penyebab dari overload besi,
baik karena penyakit genetik atau pun bukan, ternyata menyebabkan peningkatan
diabetes.
Peran
besi dalam menyebabkan penyakit diabetes ditunjukkan oleh dua hal, pertama : terjadi peningkatan kejadian
diabetes pada orang-orang yang kelebihan besi, apapun penyebabnya. Kedua : adanya perbaikan penyakit
diabetes setelah membuang kelebihan besi dengan obat-obatan yang dapat mengikat
besi. Orang-orang yang sering menjalani transfusi darah karena penyakit
tertentu, seringkali mengalami overload
besi dalam tubuhnya. Pada kelompok ini terjadi peningkatan kejadian diabetes.
Walau mekanisme zat besi dapat mempercepat terjadinya diabetes belum diketahui
secara pasti, namun dugaan tersebut kemungkinan berhubungan dengan tiga
mekanisme kunci, yaitu :
1.
Defisiensi (kekurangan
insulin)
2.
Resistensi
Insulin (ganguan
kerja insulin)
Maksudnya,
meskipun insulin terdapat dalam darah dalam jumlah yang cukup, akan tetapi
tidak mampu mendorong glukosa dalam darah untuk masuk ke dalam sel-sel tubuh.
Akibatnya, kadar glukosa dalam darah tetap tinggi. Sebaliknya, apabila suatu
sel sangat berespon terhadap adanya insulin, maka kondisi ini disebut dengan
“sensitif”
3.
Disfungsi (kerusakan)
hati (hepar)
Overload besi dan munculnya radikal bebas akan menyebabkan kerusakan sel ɞ
pankreas yang berfungsi menghasilkan hormon insulin. Akibatnya, terjadi
penurunan produksi hormon insulin.
Karena produksinya berkurang, maka otomatis sekresi (pengeluaran) dalam
darah juga berkurang.
Adapun
mekanisme terjadinya resistensi insulin, diduga terjadi secara langsung atau
melalui rusaknya fungsi hepar (hati). Selain itu, adanya pengendapan besi dalam
otot akan menurunkan penyerapan glukosa karena terjadi kerusakan pada otot
tersebut. Sebaliknya, insulin justru meningkatkan penyerapan besi, sehingga terjadilah lingkaran yang menyebabkan
terjadinya resistensi insulin. Selain bertanggung jawab pada terjadinya
penyakit diabetes, besi juga bertanggung jawab pada timbulnya berbagai
komplikasi penyakit diabetes, diantaranya penyakit ginjal dan penyakit
kardiovaskuler.
Penelitian
hasil kerjasama dua institusi pendidikan kedokteran di Spanyol, yaitu University Hospital of Girona “Dr. Josep
Trueta” dan University Miguel Hernandez
mencoba menilai sensitifitas insulin dan sekresi (pengeluaran) insulin setelah
dilakukan pembekaman dengan interval
empat bulan pada pasien diabetes tipe 2 yang memiliki kadar serum feritin (besi
yang tersimpan dalam sel tubuh) berkadar tinggi, yaitu kadarnya > 200 ng/mL.
Penelitian menitikberatkan untuk melihat pengaruh hijamah (bekam) terhadap control metabolic, sekresi insulin dan
kerja insulin pada pasien diabetes dengan kadar feritin yang tinggi. Oleh karena itu,
dalam penelitian ini akan dilihat efek pembuangan besi (iron depletion) terhadap parameter-parameter tersebut.
Pasien
dibagi dalam dua kelompok, pertama
(grup 1) yang berjumlah 13 pasien, dilakukan pembekaman dengan jangka waktu 2
minggu, setiap kali pembekaman diambil 500 mL darah. Total pembekaman yang
dilakukan terhadap grup 1 sebanyak 3 kali. Kedua
(grup 2) yang berjumlah 15 pasien adalah kelompok kontrol yang tidak
mendapatkan terapi pembekaman. Seluruh pasien (grup 1 dan grup 2) tetap
mendapatkan terapi seperti biasanya dengan insulin, obat-obat anti-diabetes, dan
olahraga selama periode penelitian.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa serum feritin, transferin (protein yang berfungsi
untuk mengikat atau membawa besi dalam darah), saturation index dan kadar hemoglobin turun pada pasien yang
mendapat terapi hijamah (grup 1). Selain itu kadar HBA juga turun secara
bermakna pada pasien grup 1. Didapatkan pula peningkatan sensitivitas insulin
pada grup 1 dibandingkan grup 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hijamah
dapat berperan sebagai terapi tambahan pada pasien diabetes tipe 2 dengan
peningkatan konsentrasi serum feritin.
Penelitian
lainnya dari institusi yang sama dengan penelitian sebelumnya, yaitu untuk
menguji hipotesis bahwa pembuangan besi yang bersirkulasi dalam darah dengan
hijamah akan memperbaiki kerusakan pembuluh darah pada pasien diabetes tipe 2
dan pada pasien dengan peningkatan kadar serum feritin.
Pada
penelitian ini, pasien diabetes dengan kadar serum feritin > 200 ng/mL
dibagi dalam 2 kelompok seperti pada penelitian sebelumnya. Reaktivitas
pembuluh darah dinilai pada awal penelitian, serta pada 4 dan 12 bulan
berikutnya. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pembuangan besi dengan
hijamah dapat memperbaiki kerusakan pembuluh darah pada pasien diabetes tipe 2
dengan kadar serum feritin yang tinggi. Perbaikin ini sejalan (paralel) dengan
penurunan kadar besi dalam tubuh yang ditandai dengan turunnya kadar serum
feritin pada pasien grup 1.
Penjelasan
efek hijamah ini menunjukkan bahwa kelebihan besi menyebabkan perubahan dini
pada struktur dan fungsi pembuluh darah manusia, yang ditandai dengan
hipertrofi (penebalan) dinding pembuluh darah. Hipertrofi ini dapat diperbaiki
dengan menurunkan kadar besi dalam darah melalui proses hijamah. Dalam
penelitian ini, ditemukan adanya peningkatan dilatasi (pelebaran) pembuluh
darah setelah kadar besi diturunkan dengan hijamah. Sehingga, pembuangan besi
dapat meningkatkan kelenturan (distensibilitas) pembuluh darah.
Penelitian
yang hampir sama dengan 2 penelitian di atas juga dilaksanakan institusi lain
di Eropa oleh para peneliti dari San
Filippo Neri Hospital (Italia), Bambino
Gesu Hospital dan Research Institute (Italia)
yang berlangsung selama 2 tahun.
Penelitian
ini bertujuan mengetahui efek hijamah terhadap
sekresi dan sensitivitas insulin, parameter-parameter dalam darah, kadar besi
dalam hati (liver ion content/LIC), dan perubahan kerusakan jaringan
hati. Subjek penelitian adalah pasien yang baru saja terdiagnosa diabetes yang
memiliki kelainan genetik tertentu yang menyebabkan tingginya kadar besi dalam
tubuh.
Hijamah
dilakukan setiap 2 minggu, masing-masing dengan mengeluarkan darah sebanyak 450
mL. Volume darah dikembalikan ke jumlah semula dengan memberikan larutan
fisiologis. Data sebelum dan sesudah dua tahun terapi dengan hijamah diambil
untuk dibandingkan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbaikan dalam
beberapa parameter metabolisme. Kadar feritin dan besi turun. Parameter lain
seperti kadar kolesterol, trigliserida (lemak), glukosa puasa, kadar
enzim-enzim tertentu seperti lactate
dehydrogenase (LDH), aspartate aminotransferase (AST) atau
yang lebih dikenal dengan
glutamic-oxaloacetate transaminase (SGOT), alanine aminotransferase (ALT) atau yang lebih dikenal dengan glutamic-pyruvate transaminase (SGPT),
dan gamma glutamyl transferase (γ-GT)
dimana enzim-enzim ini merupakan penanda terjadinya kerusakan pada hati, juga
mengalami perbaikan dengan peningkatan sekresi insulin, peningkatan pengambilan
glukosa oleh sel-sel tubuh, dan peningkatan sensitivitas terhadap insulin.
Dari
penelitian-penelitian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa terapi hijamah
bermanfaat bagi pasien diabetes mellitus, terutama yang memiliki kadar besi
yang tinggi. Penelitian-penelitian ini telah membuka suatu harapan baru di masa
mendatang akan meningkatnya penerimaan masyarakat secara umum terhadap bekam
serta memberi harapan baru bagi pasien diabetes mellitus.
Sumber : Tabloid Bekam Edisi 3 (Cetakan ke 2) / TH. 2 /
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar